Demokrasi Setengah
Hati
(Regenerasi
Pemerintahan dengan Revolusi Mental)
Oleh : Ahmad Syaifur Rizal
Ada-ada
saja ulah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita sekarang, perilaku
yang justru tidak membuat masyarakat simpati. yang terpenting, tidak
mencerminkan sifat dan adat bangsa kita, sikap yang semakin menjadi-jadi saat
janji mereka sudah lagi tidak bisa direalisasi. Tidak tanduk seperti itu, tidak
patut dipertotonkan para anggota dewan yang (katanya) intelektual, nyatanya
tindakan mereka seperti layaknya anak-anak, menaiki meja, bertengkar sesama
dewan, menyembunyikan palu ketua sidang dan parahnya, bagi-bagi jatah posisi kepemimpinan
pemerintahan dianggap biasa. Kalau tabiat seperti itu menjalar hingga menjadi
contoh bagi anak-anak, hingga sampai di pelosok-pelosok, apa jadinya negeri
ini, apa memang sudah demikian parahnya pendidikan budi pekerti kita? Karakter bangsa
yang tersohor seantero dunia dengan kesopanannya, akhlak baik, budi pekerti
yang luhur dan kecerdasan lokal seakan mulai memudar, seiring dengan berjalannya
sistem pemerintahan indonesia semakin hari semakin tenggelam, karena diisi oleh
orang-orang yang (katanya) kompeten dari hasil bagi-bagi kursi jabatan. Sangat
disayangkan jika demokrasi dipakai untuk mencabut akar identitas kita sebagai
bangsa. Sebagai generasi pelanjut, tugas dan tanggung jawab ada di pundak
masing-masing. Memberi contoh budi pekerti yang baik. Marilah belajar pada
hal-hal yang disekitar kita dulu, mulai dengan belajar untuk jujur, menghargai
antar sesama, toleransi dan saling peduli. Mungkin kata demokrasi Indonesia
yang “kebablasan” sudah sering kita
dengar dan tidak asing di telinga kita. Tetapi apa benar kalau demokrasi di
negeri kita tercinta ini seperti itu.
Tentu
banyak praktek-praktek ilegal sudah kita lihat secara nyata, salah satu bukti
adalah pelaksanann pemilihan umum, baik pemilihan gubenur, bupati bahkan kepala
desa, banyak kita jumpai menggunakan politik uang (money politic),
sebagai jalan mulus untuk melenggang ke kursi pemerintahan. Jual beli suara
dalam pemilu sudah menjadi hal yang wajar dan biasa, dalam demokrasi di
Indonesia, saya sendiri sudah sering mendengar dari masyarakat bahwa untuk
menduduki suatu jabatan kekuasaan yang di inginkan, seseorang akan dipilih jika
dia mampu membeli suara dari masyarakat, inilah yang sangat memprihatinkan dan
meresahkan dari sistem demokrasi di negara kita, lebih-lebih para oknum-oknum
yang tidak betanggung jawab yang ingin menguasai negeri ini. Anggapan
masyarakat bahwasaannya mereka (dewan) datang untuk mencari uang bukan untuk
mengabdi pada masyarakat ataupun sebagai wakil suara-suara rakyat. Begitu miris
menengok sistem negeri ini, pemilu yang hakikatnya sakral untuk memilih
pemimpin negeri, dibuat ajang perebutan jabatan, tidak sesekali mereka saling
menfitnah, menjatuhkan satu sama lain. Wajar saja rakyat mulai bimbang untuk
memilih, menentukan pilihan, tentu menjadi hal yang sulit bagi rakyat ketika
rasa tidak percaya menjadi nyata dan canggung untuk memberikan suaranya. Dinamika
politik yang semakin memanas, perebutan kursi kekuasaan, saling menjatuhkan
masih terjadi serta beradu argumen seharusnya bisa di selesaikan dengan
musyawarah mufakat, tetapi itu hanya menjadi isapan jempol belaka. Kemanakah
sifat kenegarawanan mereka?
Menengok
tatanan pemerintahan (eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang masih saja diisi
oleh wajah-wajah lama yang sering kali berulah, seperti halnya kutu loncat,
setelah masa jabatannya habis dalam satu periode, mereka saling bepindah antar
komisi yang membuat indonesia seperti jalan di tempat (stagnan). Banyak
program-program yang di tawarkan dan samakin banyak pula program-program yang
terabaikan. Seperti halnya tentang kesehatan dan kemiskinan. Banyak orang-orang
miskin terlantar hidupnya, yang seharusnya mendapat perhatian lebih pemerintah.
Sering kita dengar guyonan di masyarakat
“orang miskin dilarang untuk sakit” sepertinya memang menjadi kenyataan. Untuk
berobat ke rumah sakitpun mereka tidak dilanyani dengan baik dan maksimal, bahkan
menginjak teras rumah sakitpun tak diizinkan bagi mereka yang tidak punya uang,
serta kebijakan dan penetapan undang-undang terlihat yang pro rakyat tetapi
hakikinya mementingkan golongannya masing-masing tanpa memperdulikan rakyat
sedikitpun.
Mau
dibawa kemana negeri ini, apa memang sudah sebobrok ini, apa memang sistemnya
yang salah atau memang yang mempunyai kekuasaan hanya menjalankan amanat rakyat
dengan setengah hati? Sudah saatnya pemerintahan indonesia berganti wajah,
saatnya anak-anak generasi muda dengan bakat, profesionalitas dan ide-ide gilanya bergerak menggantikan
wajah-wajah lama yang duduk di kursi pemerintahan. Merubah sesuatu yang sudah
dianggap paten memang terlihat sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk
dilaukan. Kedaulatan rakyat sesuai
dengan amanat sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” haruslah ditegakkan di bumi kita ini. Negara
dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis, harus
benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita
harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik
korupsi. Salah satu hal yang bisa saya tawarkan untuk majunya Indonesia dengan
cara “revolusi mental”, untuk mengubah kebiasan-kebiasan kotor di pemerintahan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan
suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya, segala
praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang.
Revolusi mental beda dengan revolusi fisik, karena ia tidak memerlukan
pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan
spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin dan selayaknya setiap
revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat. Apa itu Revolusi Mental? Menurut
Karlina Supelli (seorang filsuf perempuan indonesia), bentuk transformasi etos,
yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas cara berpikir, cara merasa dan cara
mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Tentu
langkah awal dari pembentukan Indonesia baru berawal dari sistem pendidikan
yang bermutu, serta kebudayaan yang mengakar pada pancasila untuk membentuk etos warga negara
yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia
tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya
tertentu tetapi landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Karena
itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan mulai dari usia dini. Dalam
menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang
tidak dapat diganti. Karakter generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula
diantaranya yaitu karakter politiknya Revolusi mental membuat kejujuran dan
keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika seseorang berhadapan
dengan situasi konkret. Berani menolak KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
suap dan pencucian uang yang sudah menjamur.
Memang bukan hal yang mudah untuk mewujudkan itu semua, sikap peran aktif
para generasi mudah, sangat di butuhkan
dan peran pengawasan oleh generasi senior, demi terwujudnya indonesia baru. Kita tidak
boleh kehilangan asa, apalagi kalau membayangkan republik ini semakin suram dan
tenggelam. Harapan demi harapan kita gantungkan setinggi langit, di tangan para
pemuda-pemudi nasib bangsa ini berada. Tidaklah salah generasi muda menjadi pilihan, untuk menjadi bagian
penting untuk kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. karena mereka adalah pelaku
demokrasi di masa yang akan datang. Dengan bekal kejujuran, ketaqwaan dan
perombakan mental, sebuah harapan itu muncul di pundak para generasi muda untuk
indonesia yang lebih baik. Tentu saja untuk melihat wajah baru negeri ini yang
terbebas dari jeratan korupsi. (asr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar