Blog ini merupakan kumpulan mata kuliah hukum (pada awal) namun tidak tertutup kemungkinan untuk memasukan mata kuliah lain dalam blog ini.. mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua

Kamis, 22 Januari 2015

Demokrasi Setengah Hati

Demokrasi Setengah Hati
(Regenerasi Pemerintahan dengan Revolusi Mental)

Oleh : Ahmad Syaifur Rizal
Ada-ada saja ulah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita sekarang, perilaku yang justru tidak membuat masyarakat simpati. yang terpenting, tidak mencerminkan sifat dan adat bangsa kita, sikap yang semakin menjadi-jadi saat janji mereka sudah lagi tidak bisa direalisasi. Tidak tanduk seperti itu, tidak patut dipertotonkan para anggota dewan yang (katanya) intelektual, nyatanya tindakan mereka seperti layaknya anak-anak, menaiki meja, bertengkar sesama dewan, menyembunyikan palu ketua sidang dan  parahnya, bagi-bagi jatah posisi kepemimpinan pemerintahan dianggap biasa. Kalau tabiat seperti itu menjalar hingga menjadi contoh bagi anak-anak, hingga sampai di pelosok-pelosok, apa jadinya negeri ini, apa memang sudah demikian parahnya pendidikan budi pekerti kita? Karakter bangsa yang tersohor seantero dunia dengan kesopanannya, akhlak baik, budi pekerti yang luhur dan kecerdasan lokal seakan mulai memudar, seiring dengan berjalannya sistem pemerintahan indonesia semakin hari semakin tenggelam, karena diisi oleh orang-orang yang (katanya) kompeten dari hasil bagi-bagi kursi jabatan. Sangat disayangkan jika demokrasi dipakai untuk mencabut akar identitas kita sebagai bangsa. Sebagai generasi pelanjut, tugas dan tanggung jawab ada di pundak masing-masing. Memberi contoh budi pekerti yang baik. Marilah belajar pada hal-hal yang disekitar kita dulu, mulai dengan belajar untuk jujur, menghargai antar sesama, toleransi dan saling peduli. Mungkin kata demokrasi Indonesia yang  “kebablasan” sudah sering kita dengar dan tidak asing di telinga kita. Tetapi apa benar kalau demokrasi di negeri kita tercinta ini seperti itu.
Tentu banyak praktek-praktek ilegal sudah kita lihat secara nyata, salah satu bukti adalah pelaksanann pemilihan umum, baik pemilihan gubenur, bupati bahkan kepala desa, banyak kita jumpai menggunakan politik uang (money politic), sebagai jalan mulus untuk melenggang ke kursi pemerintahan. Jual beli suara dalam pemilu sudah menjadi hal yang wajar dan biasa, dalam demokrasi di Indonesia, saya sendiri sudah sering mendengar dari masyarakat bahwa untuk menduduki suatu jabatan kekuasaan yang di inginkan, seseorang akan dipilih jika dia mampu membeli suara dari masyarakat, inilah yang sangat memprihatinkan dan meresahkan dari sistem demokrasi di negara kita, lebih-lebih para oknum-oknum yang tidak betanggung jawab yang ingin menguasai negeri ini. Anggapan masyarakat bahwasaannya mereka (dewan) datang untuk mencari uang bukan untuk mengabdi pada masyarakat ataupun sebagai wakil suara-suara rakyat. Begitu miris menengok sistem negeri ini, pemilu yang hakikatnya sakral untuk memilih pemimpin negeri, dibuat ajang perebutan jabatan, tidak sesekali mereka saling menfitnah, menjatuhkan satu sama lain. Wajar saja rakyat mulai bimbang untuk memilih, menentukan pilihan, tentu menjadi hal yang sulit bagi rakyat ketika rasa tidak percaya menjadi nyata dan canggung untuk memberikan suaranya. Dinamika politik yang semakin memanas, perebutan kursi kekuasaan, saling menjatuhkan masih terjadi serta beradu argumen seharusnya bisa di selesaikan dengan musyawarah mufakat, tetapi itu hanya menjadi isapan jempol belaka. Kemanakah sifat kenegarawanan mereka?
Menengok tatanan pemerintahan (eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang masih saja diisi oleh wajah-wajah lama yang sering kali berulah, seperti halnya kutu loncat, setelah masa jabatannya habis dalam satu periode, mereka saling bepindah antar komisi yang membuat indonesia seperti jalan di tempat (stagnan). Banyak program-program yang di tawarkan dan samakin banyak pula program-program yang terabaikan. Seperti halnya tentang kesehatan dan kemiskinan. Banyak orang-orang miskin terlantar hidupnya, yang seharusnya mendapat perhatian lebih pemerintah.  Sering kita dengar guyonan di masyarakat “orang miskin dilarang untuk sakit” sepertinya memang menjadi kenyataan. Untuk berobat ke rumah sakitpun mereka tidak dilanyani dengan baik dan maksimal, bahkan menginjak teras rumah sakitpun tak diizinkan bagi mereka yang tidak punya uang, serta kebijakan dan penetapan undang-undang terlihat yang pro rakyat tetapi hakikinya mementingkan golongannya masing-masing tanpa memperdulikan rakyat sedikitpun.
Mau dibawa kemana negeri ini, apa memang sudah sebobrok ini, apa memang sistemnya yang salah atau memang yang mempunyai kekuasaan hanya menjalankan amanat rakyat dengan setengah hati? Sudah saatnya pemerintahan indonesia berganti wajah, saatnya anak-anak generasi muda dengan bakat, profesionalitas  dan ide-ide gilanya bergerak menggantikan wajah-wajah lama yang duduk di kursi pemerintahan. Merubah sesuatu yang sudah dianggap paten memang terlihat sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilaukan.  Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”  haruslah ditegakkan di bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis, harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi. Salah satu hal yang bisa saya tawarkan untuk majunya Indonesia dengan cara “revolusi mental”, untuk mengubah kebiasan-kebiasan kotor di pemerintahan. Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya, segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik, karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat. Apa itu Revolusi Mental? Menurut Karlina Supelli (seorang filsuf perempuan indonesia), bentuk transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Tentu langkah awal dari pembentukan Indonesia baru berawal dari sistem pendidikan yang bermutu, serta kebudayaan yang mengakar pada  pancasila untuk membentuk etos warga negara yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu tetapi landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti. Karakter generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula diantaranya yaitu karakter politiknya Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika seseorang berhadapan dengan situasi konkret. Berani menolak KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), suap dan pencucian uang yang sudah menjamur.  Memang bukan hal yang mudah untuk mewujudkan itu semua, sikap peran aktif para generasi mudah,  sangat di butuhkan dan peran pengawasan oleh generasi senior, demi terwujudnya indonesia baru. Kita tidak boleh kehilangan asa, apalagi kalau membayangkan republik ini semakin suram dan tenggelam. Harapan demi harapan kita gantungkan setinggi langit, di tangan para pemuda-pemudi nasib bangsa ini berada. Tidaklah salah generasi muda menjadi pilihan, untuk menjadi bagian penting untuk kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. karena mereka adalah pelaku demokrasi di masa yang akan datang. Dengan bekal kejujuran, ketaqwaan dan perombakan mental, sebuah harapan itu muncul di pundak para generasi muda untuk indonesia yang lebih baik. Tentu saja untuk melihat wajah baru negeri ini yang terbebas dari jeratan korupsi. (asr)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar