Kamis, 22 Januari 2015

Studi Kritis Terhadap Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melihat spektrum yang relatif luas dan sebagai sistem keagamaan yang utuh, islam memberikan tempat kepada dua jenis penghayatan sekaligus, yaitu eksoteris (zhahiri) dan esoteris. Tekanan yang berlebihan kapada salah satu  jenis penghayatan akan melahirkan kepincangan yang melayani prinsip keseimbangan (tawazun). Diantara kaum muslimin ada yang memihak di salah ssatu sisi dimensi. Tidalah mengherankan, jika dalam sejarah perjalanan umat islam telah terbentuk dua kelompok yang sama sekali berbeda. Satu kelompok menitik beratkan kepada ketentuan-ketentuan “luar” (ahkam azh-zhahiri) dan sekelompok lebih tertarik pada ketentuanketentuan “dalam”(ahkam al-bawathin[1]).
Tasawuf, yang dikalangan barat dikenal sebagai misitisme islam merupakan salah satu aspek esoteris islam sekaligus perwujudan ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung dengan Tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun demikian, tasawuf merupakan hasil kebudayaaan sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti ilmu fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena itu tasawuf tidak lepas dari kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Serangan yang berulang-ulangditujukan kepada tasawuf dalam sejarah islam memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebab ini berupa pengarus sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hukum bahkan penguasa. Walaupun otoritas –otoritas besar sufi telah meletakkan banaya garis pemandu untuk menjaga tasawuf agar tepat berada di jantung tradisi islam, gerakan keagamaan yang ditujukan untuk mengintensifkan pengalaman keagamaan dan mempunyai sedikit kepedulian terhadap norma-norma islamjuga dikaitkan dengan tasawuf[2].
Tak peduli apakah para anggota geakan-gerakan ini menganggap diri mereka sufi atau bukan , yang jelas penentang sufisme merasa beruntung dapat mengklaim bahwa ekses-ekses yang ditimbulkan oleh anggota gerakan tersebut mewakili sifat-sifat sejati tasawuf.
Begitu kerasnya serangan dari luar (orientalis) dalam menjatuhkan tasawuf di mata dunia. Kritikan- kritikan para tokoh yang menganggap bahwa tasawuf bukan berasal dari islam sesungguhnya inilah yang telah lama muncul. Faktor ini lah yang membuat penulis tertarik mengupas lebih dalam mengenai tasawuf dari sudut pandang pengkritisan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bentuk kritik terhadap tarekat?
2.      Bagaimana bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi?
3.      Bagaimana  bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap tarekat.
2.      Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.
3.      Untuk mengetahui  bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bentuk kritik terhadap tarekat.
Diantara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada juga bentuk penyimpangan yang lain seperti mengabaikan syari’at dan perdukunan.[3]
Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik-kritik pedas terhadapnya. Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam.[4] Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata,“….Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai ‘wali’ hanya karena orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang diluar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberi tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib (tidak tampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla.
Bahkan, orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mau terbang di udara atau berjalan di atas air, kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulallah SAW, apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau SAW dan menjauhi larangannya? ...karena hal-hal yang diluar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan atau jin, sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.[5]
Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai berikut:
“Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka maqbul, dan jika tiada begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak terjadi di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minagkabau.
Maka bahwasanya mereka itu bercela akan dzikir Allah dengan (…) dan mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu hingga, bahwasanya akan mengikut bersembahn yang padanya dan bercampur makan padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu hanyalah mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan dunia adanya.[6]
Disepanjang sejarah Islam memang terdapat kritik tajam terhadap guru-guru dan organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur adalah mistikus abad pertengahan, Al-Hallaj (w. 992), yang dihukum mati karena menyatakan persatuan mistisnya dengan Tuhan dengan cara yang ekstrem. Para penafsir Islam yang lebih literalis dan legalis menentang praktik-praktik tarekat sufi karena dianggap menyediakan sarana bagi praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan non-Islam. Pada Abad ke-18, oposisi terkuat terhadap tarekat dating dari gerakan Wahhabiyah yang sedang berkembang. Pada era modern, para pembaharu modern mengkritik keras tarekat karena mendorong dan memperkuat takhayul rakyat, dan kaum modemis Islam berupaya mengurangi pengaruh syekh-syekh sufi dalam masyarakat.
Oposisi kaum modernis semacam itu dapat dilihat dalam tindakan-tindakan kaum pembaru diseluruh dunia Islam. Di mana pun gerakan modernis Salafiyah yang muncul melalui pikiran dan tindakan kaum ulama pada akhir abad ke-19, semisal Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir mempunyai pengaruh, disitu terdapat oposisi yang kuat terhadap praktik-praktik pemujaan rakyat serta pengaruh tarekat-tarekat sufi. Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan dan ajaran ‘Abdullah ibn Idris As-Sanusi (w. 1931) di Maroko, Perhimpunan Ulama Aljazair yang dibentuk pada tahun 1930-an, Muhammadiyah di Indonesia di sepanjang abad ke-20, gerakan Jadidiyah di wilayah Kekaisaran Rusia lama, serta di banyak wilayah lain. Selain itu, program-program reformasi yang jelas-jelas lebih terbaratkan berupaya menghapus pengaruh tarekat, sebagaimana dengan amat baik diilustrasikan dalam reformasi Mustafa Kemal Ataturk selama 1920-an dan 1930-an di republic baru Turki.
Sisi lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak bribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang mengejar dunia adalah anjing.” Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakkal, menunggu apa saja yang akan datang qadha dan qadhar yang sejalan dengan paham Asy’ariyah. Para pembaharu dalam dunia Islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam. Bahkan, Schimmel menyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari kebutuhan merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan orang-orang Islam[7].

B.     Bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, sebagaimana telah disebut di atas. Para sufi yang juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataan – pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terdapat golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 H).
Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syatahat, yaitu ungkapan isyarat – isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan lenyapnya kesadaran, yang makna – maknanya tidak jelas bagi orang yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungakapan –ungkapan itu barang kali keluar dari batas – batas etika syara’, tidak pantas di hadapan Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan – ungkapan itu merembes paham ateisme. Sikap kita terhadap syathahat – syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf yang saleh.[8]
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata, “Ketauhilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora yang tidak dimiliki oleh bahasa kaum yang lainnya. Ada pengungkapan hal umum, satu kata, tetapi yang dimaksud adalah hal yang khusus. Atau pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna sebenarnya. Karena itu, mereka berkata, ‘Kami adalah para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan. Isyarat adalah bagi kami, sedang ungkapan bagi orang selain kami’. Mereka (para sufi) terkadang mengungkapkan satu frase yang di ungkapkan oleh orang ateisme.
Dengan frase itu para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan. Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah diantara dua kelompok. Satu kelompok bersandar kepada whir frase, lalu menilai orang yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan. Sementara kelompok yang satu lagi memandang maksud – maksud dan tujuan dari orang –orang sufi, lalu membenarkan ungkapan dan isyarat – isyarat mereka itu. Maka orang yang mencari kebenaran (al-haqq) akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari yang bukan ahli kebenaran.
Ibn Nadim, berlandaskan sumber – sumber tertentu yang bertentangan, pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj:“Al-Husayn ibn Mansur Al-Hallaj adalah seorang penipu dan tukang sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam pemikiran mazhab sufi, memengaruhi gaya bahasa mereka. Ia menyatakan menguasai setiap bidang ilmu, tetapi pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit tentang al-hikmah. Ia bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan para sultan, berusaha melakukan hal – hal besar dan sungguh menginginkan suatu perubahan dalam pemerintah. Diantara para pengikutnya ia mengaku bersifat ilahi, dan berbicara tentang penyatuan ilahi”
Di antara hal paling penting yang dituduhkan oleh orang – orang yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi meyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan, bukit – bukit, pepohonan, manusia, hewan, dan sebagainya. Dengan kata lain, makhluk adalah khaliq itu sendiri. Semua yang di dapatdiraba dan dapat dilihat di alam ini merupakan dzat allah dan diri-Nya. Mahasuci Allah dari semua itu.
Hulul dan Itthad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis. Allah bukanlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis – jenis lainnya. Bagaimana bisa Yang Qadim menempati yang hadis, Kahliq menempati makhluk? Jika yang dimaksud dengan hulul adalah masuknya ‘aradh (lawan dari esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘arad. Jika yang dimaksud adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah esensi. Jika hulul dan Ittihad antara dua makhluk adalah sesuatu yang mustahil, tidak mungkin dua orang laki – laki karena perbedan zat keduannya, perbedaan antara Khaliq dan makhluk., antara pembuat dan yang dibuat, dan antara dzat yang wajib adadan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi.
Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan kesalahan pendapat tentang hulul dan Ittihad, menunjukkan kerusakannya, dan memperingatkan kesesatannya[9].
Dalam Al-Aqidah Ash-Shughra, Syekh Muhyiddin inb Arabi berkata, “Mahatinggi Allah dari menempati yang hadis, atau yang hadis menempati-Nya”. Dalam bab Al-Asrar, ia berkata, “Seorang ahli makrifat tidak boleh berkata, “Aku adalah Allah”, sekalipun dia sampai pada tingkat kedekatan yang paling tinggi. Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan seperti ini. Hendaknya dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan menuju Engkau’. Dalam bab ke-169, ia berkata, “Yang Qadim sekali – kai tidak akan menjadi tempat yang hadis, dan sekali – kali tidak akan menempati yang hadis”. Dalam bab Al-Asrar, ia berkata, Barang siapa berkata tentang hulul, berarti dia itu sakit. Mengaku ittihad, adalah penyakit yang tidak akan hilang. Dan tidak akan berkata tentang ittihad, kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan berlebih – lebihan.” Dalam bab yang sama, ia berkata, “Yang hadis tidak akan terlepas dari sifat – sifat makhluk. Jika Yang Qadim tidak menempatinya, benarlah perkataan ahli tajsim. Jadi, Yang Qadim tidak menempati dan tidak menjadi tempat”.

C.     Bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum
Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya untuk menahan gerakan yang wataknya melebih-lebihkan itu tak berhasil. Walaupun pengaruhnya memang sangat luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi. Umat mengalami kemunduran, yang selama dua abad terkhir ini mereka berpaya keras mebgatasi kemunduran itu[10].
Alih-alih tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan menjalankan syariat, memperdalam komitmennyaterhadap islam dan menyucikan serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang menyebabkan atau bahkan memperburuk suatu hal.
Kritikan-kritikan berikut tertuju secara khusus tertuju kepada aliran-aliran tasawuf  seperti halnya :
1.      Syari’ah dan haqiqah (Hakikat)
Syari’ah, dikalangan ahli hukum islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah kumpulan hukum peraktis, yakni tuntunan-tunanan peraktis dari Al-Quran dan As-Sunnahtentang cara pelaksanaan ibadah maupun muamalah. Syariah dalam pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik aturan tersebutlah yang merekah namai dengan haqiqah (hakekat)[11]. Sebagai contoh, pergerakan dalam shalat itu yang dinamakan dengan syariat sedangkan berhubungan dalam arti berkomunikasi dan “bersatu” dengan-Nya adalah hakikat.
Ada dua pandangan yang dikemukaan oleh para sufi terhadap syariah. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (masih berpegangan pada syariah). Menurut kelompok ini, syariat dalam artian lahiriyah menjadi perhatian para ahli fiqh, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian khusus para kaum sufi.
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah hanya di tujukan kepada kelompok masyarakat awam saja, hal ini di karenakan keterbatasan daya berfikir dan hati mereka dalam memahai makana syariah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat awam hanya dituntun hanya shalat lima waktu dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Berbeda lagi dengan sufi ekstrim ini, merka meyakini ada hakikat di balik syariah itu. Apabila telah dicapai maka syariah bukanlah menjadi hal yang penting. Contoh, hakikatshalat adalah komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah SWT. Apabila itu telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah itu tidak lagi di gunakan.

2.      Ilmu muktasab dan ladunni[12]
Dalam tradisi ilmu islam, secara gais besar, dikenal dua mcam ilmu yaitu :pertama, ilm muktasab adalah ilmu yang diperoleh lewat proses pembelajaran(membaca atau berguru). dan yang kedua, ilm ladunni adalah ilmu yang tidak diperoleh melalui proses tersebut. Ilmu yang kedu ini adalah dalah anugr\erah atau pemberan dari Allah yang masuk kedalam (proses) hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buahdari kebersihan hati dankedekatan dengan-Nya.
Karena sikap mereka lebih cenderung kepa ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhaian yag besar terhadap upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsiinididasarkankepadaungkapan-ungkapansebagaimana guru-guru besarsufisebagaiberikut :
Al-Ghazaliberkata :
Ketahuilahbahwakeinginan para ahlitasawufadalahilmuilhamiyah,danbukannyailmuta’limiyah. Olehkarenanyamerekatidaktertarikuntukmempelajaribuku-buku, danmembahaspendapat-pendapatmerekabesertadalil-dalilnya yang ada di dalamya.”[13]

Bagaimanapundalamhalinitejadipolemik. Ibn al-Jauzi, meskipunpenahmengkrtikkaumsufi, misalnyamengakuibahwaulama-ulamaterkemukadalamberbidangdisiplinkeilmuan agama, seperti : al-Quran, tafsir, hadisdanfiqh. Imam al-Ghazalidenganjumlahwawasan kaya tulisnya yang sangatluas. Ibn ‘Arabidenganpenguasaanintelektualdankebudayaanuangluasdibidangmazhabdanilsafat, baikislammaupun non islam. Menurutnya, yang melakukanpelaranganataupencelaantehadapakfitasmenuntutilmuhanyadilakukanolehekelompokdarikaumsufi.
Di sampingitu, adaungkapan para sufi yang mengaskanbahwaawalibadahkepada Allah adalahilmu. Apabilakamuberilmumakakamuberma’rifahdanapabilakamuberma’rifahmakakamudapatberibadah, namunibadahdanma’rifahtidakakanberartitanpailmu.
Dengandemikian, sebagian para sufisebenarnyasangatenghargaiilm-muktasab(yang diusahakanmelalui proses belajar). Kalaupunadayangtidakmenghargaataubahkanmengecamilmu, makaitudilakukanolehkelompok-kelompoktertentu. Ada beberapafaktor yang emmungkinkanhalituterjadi :
a.       Ilmuladunnidankecamanmerekatehadapakal.
b.      Dilarangmenututilmulewatbelajardanmembaca, karenadikhawatirkanakanmembukaberbagaikelemahanajaan-ajaran para syeikh. Sebagaicontoh, banyakpengkajtasawufmelihatbahwalarangankaumsufitertentuuntukmempelajariilmmusthalahahhaditskarenaituakanmembukakelemahan-kelemahandalil yang dipergunakan.

3.      Motivasi ibadah[14]
Padatingkatantetentu, kaumsufiberkeyakinanbahwaibdah yang benaradalahibadah yang tidakmengharapkanimbalanapapundari Allah. Tidakmengharapkansurgadantidak pula takutneraka. Bahkansementarasufiberkeyakinanbahwaibadahituadalahperbuatan Allah, bukanperbuatanseoranghamba. Siapa yang menyaksikanibadahitusebagaiperbuatantaatnya, makaiatelahdurhaka.
Hal inidapatdilihatdaripernyataanRabi’ah Al-Adawiyahberikut :
“AkumengabdikepadaTuhanbukankarenatakutkepadaneraka... bukan pula inginmasuksurga... tetapiakumengabdikarenacintakupadaNya”. “Tuhanku, jikakupujaEngkaukaenatakutkepadaneraka, bakarlahakudidalamnya; danjikakupujaEngkaukarenamengharapkansurga, jauhkanlahakudaripadanya; tetapijikaEngkaukupujasemata-matakarenaEngkaukupujasemata-matakarenaEngkau, makajanganlahsembunykankecantikanMu yang kekaldariku.”[15]

Pernyataaninimenggambrknbahwadalampandangansufisekedartertarikkepadasurgadinilaisebagaisuatkesalahanataudosa yang kaenanyaleyakmendapathukumandariTuhan.
Menurut para penelititasawuf, tidakbenarjikadikatakan (sepertipndangan para sufi) bahwa orang yang beribadahkarenatakutnerakadanharapsurgasebagai orang yang bersalahatauberdosa. Pemahamanseperiinitelahmenyimpangandariapa yang telahdagariskanoleh Al-Quran dan As-SunnahRasulullah SAW.
Di sampingitu, karenatidakadatakutdanharap di dalampelaksanaanibadah, makakaumsufiberusamencaritujuan lain dariibadah. Yaitufana’ fi al-rabb(hilangeksistensidiridalamkesatuanbersamaTuhan). MakatidakheranjikapadaakhirnyakaumsufimengatakanbahwaibadahituadalahperbuatanTuhanbukanperbuatanseoranghamba. Logikanya, apabilaseorang yang sedangberibadahtelahmenyatudenganTuhan, makaberibadahituadalahTuhanitusendiri. Apalagijikasampaikepadafahamwahdat al-wujudyang menyakinibahwaalamini, termasukmanusia, hakikatnyaatausustansinyaadalahTuhan, makasiapakah yang beribadahitujikabukaTuhan.

4.      Wahdatul wujud[16]
Faham Wahdatul wujud yang dikemukakan oleh ibn’Arabi dapat dijelaskan seperti berikut: bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya, bahwamakhlukadalahaspeklahriyah, sedangkanaspekbatindarisegalasesuatuadalah Allah. Dengandemikiandarisegihakikattidakadaperbedaanantarakhaliqdanmakhlukmakaitukarenadilihatdenganpandanganpancaindralahirkarenaketerbatasanakaldalammenagkapahakikat yang adapadaDzatnyadarikesatuandzatinyah. Yang semuaterhimpunpada-Nya.
FahamWahdatul wujuddilihatdarisegifaham yang mempersamakanTuhandenganmakhluk yang searaterangteranganbertententangandenganperintahTuhanuntuktidakmempesamakan-Nya dengansuatuapapunjuga. Dari sudutpandanganmanapunpahaminitidakbisadibenarkankarenaudahkeluardarigariskeislaman

5.      Hormat kepada syaikh[17]
Di dalamtasawuf, khususnyadalampelaksanaantarekat, para sufimemberikanpenghormatan yang sangatluarbiasabesarkepada guru atausyakh. Seorangsufi di depansyaikhnyaharussepertimayatditanaganoang yang memandikannya. Iatidakbolehbertanyatentangapa yang sdadiajarkan, lebih-lebihlagimembantah. Seorangsufimestiharusberjalan di belakangsyaikhnya, merundukjikaberpapasanatauberhadapandengannya, menciumtanganbilabersalamandengannya. Begitutingginyapenghormatan yang diberikankepadasyaikh, hampir-hampirkengkatpengkultusan, meskipuninitidakseuruhnyatejadipadakaumsufi.
Bagaimanapun, para pengkritik melihat bahwa penghormatan yang berlebihan ini. Tidak sesuai dengan praktek-praktek yang dicontohkan oleh Raslullah SAW dan para sahabatnya. Meskipun Rasulullah SAW pernah menolak bantahan-bantahan dari para sahabatnya dan mengatakan bahwa dia adalah Rasulullah, tetapi tidak jarang bahwa dia juga membuka kesempatan untuk mengajukan pendapat-pendapat berbagai persoalan kemasyarakatan (duniawi), bahkan pernah dia merubah keputusan yang dia buat karena masukan-masukan dari para sahabat.
Rasulullah SAW juga sering mengingatkan Para sahabatnya agar tidak berlebihan-lebihan di dalam panggilan (dengan panggilan sayyid/tuan), dan kedudukan. Dia bahkan diperintahkan oleh Allahuntuk menyampaikan bahwa dai tidak lain hanyalah seorang manusia biasa seperti hal layak umumnya.
Disamping itu, menurut para pengkritik, penghormatan terhadap syaikh dalam artian diatas, akan berpengaruh pada sistem belajar dan mengajar baik dalam rumah tangga maupun dalam institusi pendidikan formal (sekolah dan perkuliahan) khususnya di kalangan sufi. Tidak membuka kesempatan untuk bertanya atau adu argumentasi diantara murid dan guru dan akan melahirkan generasi-generasi yang kurang dan tidak berwawasan.

6.      Jihad
Adapun tasawuf yang lebih berkonsentrasipadapembersihanhati, menjauhikehidupandunia agar dapatbermakrifahkepada Allah SWT. Denganmemperbanyakamalan-amalansunatsepertishalat-shalatsunnatdanzikir-zikir di tempat-tempat yang jauhdarikeramaian, telahdilihatsebagaipraktek-praktek yang merendahkanjikabukanmengabaikanajaan-ajaranberjihadbagiperbaikandiridanmasyarakat.
Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam hal ini[18] :
a.       Dalam kitab ihya’ ‘ulum al-Din, karya imam Al-Ghazali yang terdiri dari 4 jilid dan lebih terkonsentrasi dalam persoalan ibadan dan pembersihan diri. Tidak di sentuh sama sekali tentang masalah jihad, padahal pada saat penulisan Syam sedang di serang pasukan salib.
b.      Kaum sufi berpegangan pada hadis “kita telah pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang lebih besar”
c.       Pada saat itu inggris dan perancis menduduki beberapa dunia islam, para sufi larut dalam zikir mereka, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Menurut ibn Taimiyah berkata :”bila dibandingkan dengan dengan aliran manapun orang-orang sufi adalah orang-orang yang paling menjauhi jihad.”
7.      Pengangguran[19]
Dari ajaran-ajaran dan praktek-praktek tasawuf, dimulai dari konsentrasi kepada pembersihan hati menjauhi kehidupan dunia, beribadah dengan berbagai amalan sunat di tempat-tempat terpencil, melemahnya semangat untuk menggali ilmu pengetahuan dan berjihad, hanya terkonsentrasi pada ma’rifah  dan persatuan dengan Tuhan, dilihat dari salah satu lahirnya penyebab lahirnya generasi-generasi pemalas dan penganggur. Lebih tertarik kepada pemberian orang dari pada hasil kerja dan usaha sendiri.
Kecendrungan seperti ini dilihat tidak sejalan dengan motivasi Allah untuk terus bekerja bagi kebaikan didunia dan akhirat, serta bagi perbaikan diri dan masyarakat dan umat manusia secara umum. Di samping itu, Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan nahwa : “Sungguh salah seorang diantara kamu sekalian yang telah menjadi ikat pinggangnya sebagai pengikat kayu yang ditaruh diatas punggung untuk dijual lebih baik dari orang yang suka meminta-minta kepada seseorang, laludiberi atau tidak diberinya”. (R.Nasai)

8.      Tidak menikah[20]
Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semisal Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya' jawabnya. Berkali-kali orang lain yang bertanya ke-padanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya."
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas. Begitu urgrennya dalam memberi kritik terhadap tasawuf. Memang dibenarkan ada beberapa hal dalam tasawuf yang condong terhadap hal-hal yang menuju kesesatan. Dan tidak di pungkiri juga bahwa tasawuf merupakan titik puncak unruk mendekatkan diri kepada Allah selain dengan cara shalat lima waktu.
Setiap individu memang mempunyai pandangan tersendiri dalam menyikapi sesuatu khususnya dalam hal tasawuf. Dimana kita kenal dengan aliansis ayap kanan yang ingin membasmi tasawuf dari dunia ini.  Sebagai kaum intelek seharusnya kita sudah bias mensikapi hal-hal seperti ini, dan memilih hal yang menueurut kacamata kita memang benar. Karena perbedaan pandangan merupakan kemaslahatan munuju ridha Allah.
B.     Saran
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami butuhkan dan harapkan, untuk memotavasi, penulis, agar dalam penyelasaian makalah ini bias memperbaiki diri, atas partisipasinya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR RUJUKAN

Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012.
IbnTaimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002
Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. Ciputat ; Gaung Persada Press. 2004.
KarelA.Steenbrink, beberapaAspektentang Islam di Indonesia Abad ke-19, BulanBintang, Jakarta, 1984, h. 184-185.
Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta, 1984
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam islam. Jakarta ; Bulan bantang. 1973.
Simuh. Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT Raja Grafindo Persada. 1997.
Solihin dan Anwar, rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. Cet. II. 2008.

[1]M. Solihin, Ilmu Tasawuf.2008 Bandung: Pustaka Setia, , hlm 227
[2]Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf.2012. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I.
[3]Nasution, Harun.Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta, 1984 h. 187
[4]Nasution, ‘Tasawuf”, h. 178.
[5]Ibn Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002, h. 215.
[6]Karel A.Steenbrink, beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 184-185.
[7]M. Solihin, Ilmu Tasawuf. 2008 Bandung: Pustaka Setia. h236
[8]M. Solihin, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm 234
[9]M. Solihin, Ilmu Tasawuf. 2008 Bandung: Pustaka Setia, , h237
[10]Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012. h.
[11]Solihin dan Anwar, rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. Cet. II. 2008.h.
[12]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. Ciputat ; Gaung Persada Press. 2004. h. 166
[13]Simuh. Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT Raja Grafindo Persada. 1997. h. 167
[14] Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 170
[15]Nasution, Harun. FalsafatdanMistismedalamislam. Jakarta ;Bulanbantang. 1973. h. 72
[16]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 173
[17]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 178
[18]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 181-182
[19]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 183
[20]Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas
[21]Kitabsucialquran : departemen agama RI

1 komentar: