BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Melihat spektrum yang relatif luas dan sebagai sistem keagamaan
yang utuh, islam memberikan tempat kepada dua jenis penghayatan sekaligus,
yaitu eksoteris (zhahiri) dan esoteris. Tekanan yang berlebihan kapada
salah satu jenis penghayatan akan
melahirkan kepincangan yang melayani prinsip keseimbangan (tawazun). Diantara
kaum muslimin ada yang memihak di salah ssatu sisi dimensi. Tidalah
mengherankan, jika dalam sejarah perjalanan umat islam telah terbentuk dua
kelompok yang sama sekali berbeda. Satu kelompok menitik beratkan kepada
ketentuan-ketentuan “luar” (ahkam azh-zhahiri) dan sekelompok lebih
tertarik pada ketentuanketentuan “dalam”(ahkam al-bawathin[1]).
Tasawuf, yang dikalangan barat dikenal sebagai misitisme islam
merupakan salah satu aspek esoteris islam sekaligus perwujudan ihsan yang
menyadari adanya komunikasi langsung dengan Tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya
telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun demikian, tasawuf merupakan
hasil kebudayaaan sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti ilmu fiqh dan ilmu
tauhid. Oleh karena itu tasawuf tidak lepas dari kritikan-kritikan dari
berbagai golongan yang menentangnya.
Serangan yang berulang-ulangditujukan kepada tasawuf dalam sejarah
islam memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebab ini berupa
pengarus sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan
serta hak-hak istimewa para ahli hukum bahkan penguasa. Walaupun otoritas
–otoritas besar sufi telah meletakkan banaya garis pemandu untuk menjaga
tasawuf agar tepat berada di jantung tradisi islam, gerakan keagamaan yang
ditujukan untuk mengintensifkan pengalaman keagamaan dan mempunyai sedikit
kepedulian terhadap norma-norma islamjuga dikaitkan dengan tasawuf[2].
Tak peduli apakah para anggota geakan-gerakan ini menganggap diri
mereka sufi atau bukan , yang jelas penentang sufisme merasa beruntung dapat
mengklaim bahwa ekses-ekses yang ditimbulkan oleh anggota gerakan tersebut
mewakili sifat-sifat sejati tasawuf.
Begitu kerasnya serangan dari luar (orientalis) dalam menjatuhkan
tasawuf di mata dunia. Kritikan- kritikan para tokoh yang menganggap bahwa
tasawuf bukan berasal dari islam sesungguhnya inilah yang telah lama muncul.
Faktor ini lah yang membuat penulis tertarik mengupas lebih dalam mengenai
tasawuf dari sudut pandang pengkritisan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bentuk kritik terhadap tarekat?
2.
Bagaimana bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi?
3.
Bagaimana bentuk kritik
terhadap peraktik tasawuf secara umum?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap tarekat.
2.
Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.
3.
Untuk mengetahui bentuk
kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bentuk kritik terhadap tarekat.
Diantara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah
menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga
mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada juga bentuk penyimpangan yang
lain seperti mengabaikan syari’at dan perdukunan.[3]
Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik-kritik
pedas terhadapnya. Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab
kemunduran umat Islam.[4]
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata,“….Kamu akan dapati mayoritas orang-orang
ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai ‘wali’ hanya karena orang tersebut
mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan
sesuatu yang diluar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang
kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat
lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air
sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat
yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan
menunaikan kebutuhannya, memberi tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan
hal-hal yang ghaib (tidak tampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya.
Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa
pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla.
Bahkan, orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan
sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mau terbang di udara atau
berjalan di atas air, kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut
sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulallah SAW,
apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau SAW dan menjauhi
larangannya? ...karena hal-hal yang diluar kemampuan manusia ini bisa dilakukan
oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, dan orang munafik, dan bisa
dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan atau jin, sama sekali tidak
boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah
wali Allah.[5]
Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai
berikut:
“Adapun
orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat
pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka
maqbul, dan jika tiada begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak terjadi
di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minagkabau.
Maka
bahwasanya mereka itu bercela akan dzikir Allah dengan (…) dan mereka itu
bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu hingga,
bahwasanya akan mengikut bersembahn yang padanya dan bercampur makan padanya
dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu hanyalah
mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan dunia
adanya.[6]
Disepanjang
sejarah Islam memang terdapat kritik tajam terhadap guru-guru dan
organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur adalah mistikus
abad pertengahan, Al-Hallaj (w. 992), yang dihukum mati karena menyatakan
persatuan mistisnya dengan Tuhan dengan cara yang ekstrem. Para penafsir Islam
yang lebih literalis dan legalis menentang praktik-praktik tarekat sufi karena
dianggap menyediakan sarana bagi praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan
non-Islam. Pada Abad ke-18, oposisi terkuat terhadap tarekat dating dari
gerakan Wahhabiyah yang sedang berkembang. Pada era modern, para pembaharu
modern mengkritik keras tarekat karena mendorong dan memperkuat takhayul
rakyat, dan kaum modemis Islam berupaya mengurangi pengaruh syekh-syekh sufi
dalam masyarakat.
Oposisi
kaum modernis semacam itu dapat dilihat dalam tindakan-tindakan kaum pembaru
diseluruh dunia Islam. Di mana pun gerakan modernis Salafiyah yang muncul
melalui pikiran dan tindakan kaum ulama pada akhir abad ke-19, semisal Muhammad
Abduh (w. 1905) di Mesir mempunyai pengaruh, disitu terdapat oposisi yang kuat
terhadap praktik-praktik pemujaan rakyat serta pengaruh tarekat-tarekat sufi.
Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan dan ajaran ‘Abdullah ibn Idris As-Sanusi
(w. 1931) di Maroko, Perhimpunan Ulama Aljazair yang dibentuk pada tahun
1930-an, Muhammadiyah di Indonesia di sepanjang abad ke-20, gerakan Jadidiyah
di wilayah Kekaisaran Rusia lama, serta di banyak wilayah lain. Selain itu,
program-program reformasi yang jelas-jelas lebih terbaratkan berupaya menghapus
pengaruh tarekat, sebagaimana dengan amat baik diilustrasikan dalam reformasi
Mustafa Kemal Ataturk selama 1920-an dan 1930-an di republic baru Turki.
Sisi
lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat umumnya hanya
berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak
bribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang
mengejar dunia adalah anjing.” Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam
dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakkal, menunggu apa
saja yang akan datang qadha dan qadhar yang sejalan dengan paham Asy’ariyah.
Para pembaharu dalam dunia Islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan
paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam. Bahkan,
Schimmel menyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari kebutuhan
merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan
orang-orang Islam[7].
B.
Bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan
filsafat, sebagaimana telah disebut di atas. Para sufi yang juga filosof ini
mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat
pernyataan – pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling
keras kecamannya terdapat golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah
(meninggal tahun 728 H).
Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syatahat, yaitu ungkapan
isyarat – isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk
ketuhanan dan lenyapnya kesadaran, yang makna – maknanya tidak jelas bagi orang
yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungakapan –ungkapan
itu barang kali keluar dari batas – batas etika syara’, tidak pantas di hadapan
Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan – ungkapan itu merembes paham ateisme.
Sikap kita terhadap syathahat – syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap
ulama salaf yang saleh.[8]
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata, “Ketauhilah bahwa dalam
bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora yang tidak dimiliki oleh bahasa kaum
yang lainnya. Ada pengungkapan hal umum, satu kata, tetapi yang dimaksud adalah
hal yang khusus. Atau pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah
indikasinya, bukan makna sebenarnya. Karena itu, mereka berkata, ‘Kami adalah
para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan. Isyarat adalah bagi kami, sedang
ungkapan bagi orang selain kami’. Mereka (para sufi) terkadang mengungkapkan
satu frase yang di ungkapkan oleh orang ateisme.
Dengan frase itu para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan.
Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah diantara dua
kelompok. Satu kelompok bersandar kepada whir frase, lalu menilai orang
yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan. Sementara kelompok
yang satu lagi memandang maksud – maksud dan tujuan dari orang –orang sufi,
lalu membenarkan ungkapan dan isyarat – isyarat mereka itu. Maka orang yang
mencari kebenaran (al-haqq) akan menerimanya dari orang ahli kebenaran,
dan menolak dari yang bukan ahli kebenaran.
Ibn Nadim, berlandaskan sumber – sumber tertentu yang bertentangan,
pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj:“Al-Husayn ibn Mansur Al-Hallaj
adalah seorang penipu dan tukang sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam
pemikiran mazhab sufi, memengaruhi gaya bahasa mereka. Ia menyatakan menguasai
setiap bidang ilmu, tetapi pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit
tentang al-hikmah. Ia bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan para
sultan, berusaha melakukan hal – hal besar dan sungguh menginginkan suatu
perubahan dalam pemerintah. Diantara para pengikutnya ia mengaku bersifat
ilahi, dan berbicara tentang penyatuan ilahi”
Di antara hal paling penting yang dituduhkan oleh orang – orang
yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi
meyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh
bagian bumi, baik di lautan, pegunungan, bukit – bukit, pepohonan, manusia,
hewan, dan sebagainya. Dengan kata lain, makhluk adalah khaliq itu sendiri.
Semua yang di dapatdiraba dan dapat dilihat di alam ini merupakan dzat allah
dan diri-Nya. Mahasuci Allah dari semua itu.
Hulul dan Itthad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis.
Allah bukanlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis – jenis
lainnya. Bagaimana bisa Yang Qadim menempati yang hadis, Kahliq menempati
makhluk? Jika yang dimaksud dengan hulul adalah masuknya ‘aradh (lawan
dari esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘arad. Jika yang dimaksud
adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah esensi. Jika hulul
dan Ittihad antara dua makhluk adalah sesuatu yang mustahil, tidak
mungkin dua orang laki – laki karena perbedan zat keduannya, perbedaan antara
Khaliq dan makhluk., antara pembuat dan yang dibuat, dan antara dzat yang wajib
adadan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi.
Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan
kesalahan pendapat tentang hulul dan Ittihad, menunjukkan
kerusakannya, dan memperingatkan kesesatannya[9].
Dalam Al-Aqidah Ash-Shughra, Syekh Muhyiddin inb Arabi berkata,
“Mahatinggi Allah dari menempati yang hadis, atau yang hadis menempati-Nya”.
Dalam bab Al-Asrar, ia berkata, “Seorang ahli makrifat tidak boleh berkata,
“Aku adalah Allah”, sekalipun dia sampai pada tingkat kedekatan yang paling
tinggi. Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan seperti ini. Hendaknya
dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan menuju Engkau’. Dalam
bab ke-169, ia berkata, “Yang Qadim sekali – kai tidak akan menjadi tempat yang
hadis, dan sekali – kali tidak akan menempati yang hadis”. Dalam bab Al-Asrar,
ia berkata, Barang siapa berkata tentang hulul, berarti dia itu sakit.
Mengaku ittihad, adalah penyakit yang tidak akan hilang. Dan tidak akan
berkata tentang ittihad, kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang
berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan berlebih – lebihan.”
Dalam bab yang sama, ia berkata, “Yang hadis tidak akan terlepas dari sifat –
sifat makhluk. Jika Yang Qadim tidak menempatinya, benarlah perkataan ahli
tajsim. Jadi, Yang Qadim tidak menempati dan tidak menjadi tempat”.
C.
Bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum
Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya untuk menahan
gerakan yang wataknya melebih-lebihkan itu tak berhasil. Walaupun pengaruhnya
memang sangat luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak
dominan lagi. Umat mengalami kemunduran, yang selama dua abad terkhir ini
mereka berpaya keras mebgatasi kemunduran itu[10].
Alih-alih tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan
menjalankan syariat, memperdalam komitmennyaterhadap islam dan menyucikan serta
mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang
menyebabkan atau bahkan memperburuk suatu hal.
Kritikan-kritikan berikut tertuju secara khusus tertuju kepada
aliran-aliran tasawuf seperti halnya :
1.
Syari’ah dan haqiqah
(Hakikat)
Syari’ah, dikalangan ahli hukum islam, diartikan sebagai seluruh
ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan
akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun
mu’amalah.
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah
kumpulan hukum peraktis, yakni tuntunan-tunanan peraktis dari Al-Quran dan
As-Sunnahtentang cara pelaksanaan ibadah maupun muamalah. Syariah dalam
pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik aturan
tersebutlah yang merekah namai dengan haqiqah (hakekat)[11].
Sebagai contoh, pergerakan dalam shalat itu yang dinamakan dengan syariat
sedangkan berhubungan dalam arti berkomunikasi dan “bersatu” dengan-Nya adalah
hakikat.
Ada dua pandangan yang dikemukaan oleh para sufi terhadap syariah.
Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (masih berpegangan pada syariah).
Menurut kelompok ini, syariat dalam artian lahiriyah menjadi perhatian para
ahli fiqh, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian khusus para kaum
sufi.
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini,
syariah hanya di tujukan kepada kelompok masyarakat awam saja, hal ini di
karenakan keterbatasan daya berfikir dan hati mereka dalam memahai makana
syariah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat awam hanya
dituntun hanya shalat lima waktu dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Berbeda lagi dengan sufi ekstrim ini, merka meyakini ada hakikat di balik
syariah itu. Apabila telah dicapai maka syariah bukanlah menjadi hal yang
penting. Contoh, hakikatshalat adalah komunikasi yang berkelanjutan (langgeng)
dengan Allah SWT. Apabila itu telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah
itu tidak lagi di gunakan.
2.
Ilmu muktasab dan ladunni[12]
Dalam tradisi ilmu islam, secara gais besar, dikenal dua mcam ilmu
yaitu :pertama, ilm muktasab adalah ilmu yang diperoleh lewat proses
pembelajaran(membaca atau berguru). dan yang kedua, ilm ladunni adalah
ilmu yang tidak diperoleh melalui proses tersebut. Ilmu yang kedu ini adalah
dalah anugr\erah atau pemberan dari Allah yang masuk kedalam (proses) hati
karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buahdari kebersihan hati
dankedekatan dengan-Nya.
Karena sikap mereka lebih cenderung kepa ilmu ladunni, mereka
diduga tidak menaruh perhaian yag besar terhadap upaya menuntut ilmu dan mereka
juga diduga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsiinididasarkankepadaungkapan-ungkapansebagaimana
guru-guru besarsufisebagaiberikut :
Al-Ghazaliberkata :
Ketahuilahbahwakeinginan para ahlitasawufadalahilmuilhamiyah,danbukannyailmuta’limiyah.
Olehkarenanyamerekatidaktertarikuntukmempelajaribuku-buku, danmembahaspendapat-pendapatmerekabesertadalil-dalilnya
yang ada di dalamya.”[13]
Bagaimanapundalamhalinitejadipolemik. Ibn al-Jauzi,
meskipunpenahmengkrtikkaumsufi,
misalnyamengakuibahwaulama-ulamaterkemukadalamberbidangdisiplinkeilmuan agama,
seperti : al-Quran, tafsir, hadisdanfiqh. Imam al-Ghazalidenganjumlahwawasan
kaya tulisnya yang sangatluas. Ibn
‘Arabidenganpenguasaanintelektualdankebudayaanuangluasdibidangmazhabdanilsafat,
baikislammaupun non islam. Menurutnya, yang melakukanpelaranganataupencelaantehadapakfitasmenuntutilmuhanyadilakukanolehekelompokdarikaumsufi.
Di sampingitu, adaungkapan para sufi yang
mengaskanbahwaawalibadahkepada Allah adalahilmu. Apabilakamuberilmumakakamuberma’rifahdanapabilakamuberma’rifahmakakamudapatberibadah,
namunibadahdanma’rifahtidakakanberartitanpailmu.
Dengandemikian, sebagian para
sufisebenarnyasangatenghargaiilm-muktasab(yang diusahakanmelalui proses
belajar). Kalaupunadayangtidakmenghargaataubahkanmengecamilmu,
makaitudilakukanolehkelompok-kelompoktertentu. Ada beberapafaktor yang
emmungkinkanhalituterjadi :
a. Ilmuladunnidankecamanmerekatehadapakal.
b. Dilarangmenututilmulewatbelajardanmembaca,
karenadikhawatirkanakanmembukaberbagaikelemahanajaan-ajaran para syeikh.
Sebagaicontoh, banyakpengkajtasawufmelihatbahwalarangankaumsufitertentuuntukmempelajariilmmusthalahahhaditskarenaituakanmembukakelemahan-kelemahandalil
yang dipergunakan.
3.
Motivasi ibadah[14]
Padatingkatantetentu, kaumsufiberkeyakinanbahwaibdah yang
benaradalahibadah yang tidakmengharapkanimbalanapapundari Allah. Tidakmengharapkansurgadantidak
pula takutneraka. Bahkansementarasufiberkeyakinanbahwaibadahituadalahperbuatan
Allah, bukanperbuatanseoranghamba. Siapa yang
menyaksikanibadahitusebagaiperbuatantaatnya, makaiatelahdurhaka.
Hal inidapatdilihatdaripernyataanRabi’ah
Al-Adawiyahberikut :
“AkumengabdikepadaTuhanbukankarenatakutkepadaneraka...
bukan pula inginmasuksurga... tetapiakumengabdikarenacintakupadaNya”. “Tuhanku,
jikakupujaEngkaukaenatakutkepadaneraka, bakarlahakudidalamnya;
danjikakupujaEngkaukarenamengharapkansurga, jauhkanlahakudaripadanya;
tetapijikaEngkaukupujasemata-matakarenaEngkaukupujasemata-matakarenaEngkau,
makajanganlahsembunykankecantikanMu yang kekaldariku.”[15]
Pernyataaninimenggambrknbahwadalampandangansufisekedartertarikkepadasurgadinilaisebagaisuatkesalahanataudosa
yang kaenanyaleyakmendapathukumandariTuhan.
Menurut para penelititasawuf, tidakbenarjikadikatakan (sepertipndangan
para sufi) bahwa orang yang beribadahkarenatakutnerakadanharapsurgasebagai
orang yang bersalahatauberdosa. Pemahamanseperiinitelahmenyimpangandariapa yang
telahdagariskanoleh Al-Quran dan As-SunnahRasulullah SAW.
Di sampingitu, karenatidakadatakutdanharap di dalampelaksanaanibadah,
makakaumsufiberusamencaritujuan lain dariibadah. Yaitufana’ fi al-rabb(hilangeksistensidiridalamkesatuanbersamaTuhan).
MakatidakheranjikapadaakhirnyakaumsufimengatakanbahwaibadahituadalahperbuatanTuhanbukanperbuatanseoranghamba.
Logikanya, apabilaseorang yang sedangberibadahtelahmenyatudenganTuhan,
makaberibadahituadalahTuhanitusendiri. Apalagijikasampaikepadafahamwahdat
al-wujudyang menyakinibahwaalamini, termasukmanusia,
hakikatnyaatausustansinyaadalahTuhan, makasiapakah yang
beribadahitujikabukaTuhan.
4.
Wahdatul wujud[16]
Faham Wahdatul
wujud yang dikemukakan oleh ibn’Arabi dapat dijelaskan seperti berikut:
bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam penampakan
keluarnya. Artinya,
bahwamakhlukadalahaspeklahriyah, sedangkanaspekbatindarisegalasesuatuadalah
Allah. Dengandemikiandarisegihakikattidakadaperbedaanantarakhaliqdanmakhlukmakaitukarenadilihatdenganpandanganpancaindralahirkarenaketerbatasanakaldalammenagkapahakikat
yang adapadaDzatnyadarikesatuandzatinyah. Yang semuaterhimpunpada-Nya.
FahamWahdatul wujuddilihatdarisegifaham yang mempersamakanTuhandenganmakhluk yang
searaterangteranganbertententangandenganperintahTuhanuntuktidakmempesamakan-Nya
dengansuatuapapunjuga. Dari
sudutpandanganmanapunpahaminitidakbisadibenarkankarenaudahkeluardarigariskeislaman
5.
Hormat kepada syaikh[17]
Di dalamtasawuf, khususnyadalampelaksanaantarekat, para sufimemberikanpenghormatan
yang sangatluarbiasabesarkepada guru atausyakh. Seorangsufi di
depansyaikhnyaharussepertimayatditanaganoang yang memandikannya.
Iatidakbolehbertanyatentangapa yang sdadiajarkan, lebih-lebihlagimembantah.
Seorangsufimestiharusberjalan di belakangsyaikhnya,
merundukjikaberpapasanatauberhadapandengannya,
menciumtanganbilabersalamandengannya. Begitutingginyapenghormatan yang
diberikankepadasyaikh, hampir-hampirkengkatpengkultusan,
meskipuninitidakseuruhnyatejadipadakaumsufi.
Bagaimanapun, para pengkritik melihat bahwa penghormatan yang
berlebihan ini. Tidak sesuai dengan praktek-praktek yang dicontohkan oleh
Raslullah SAW dan para sahabatnya. Meskipun Rasulullah SAW pernah menolak
bantahan-bantahan dari para sahabatnya dan mengatakan bahwa dia adalah
Rasulullah, tetapi tidak jarang bahwa dia juga membuka kesempatan untuk
mengajukan pendapat-pendapat berbagai persoalan kemasyarakatan (duniawi),
bahkan pernah dia merubah keputusan yang dia buat karena masukan-masukan dari
para sahabat.
Rasulullah SAW juga sering mengingatkan Para sahabatnya agar tidak
berlebihan-lebihan di dalam panggilan (dengan panggilan sayyid/tuan),
dan kedudukan. Dia bahkan diperintahkan oleh Allahuntuk menyampaikan bahwa dai
tidak lain hanyalah seorang manusia biasa seperti hal layak umumnya.
Disamping itu, menurut para pengkritik, penghormatan terhadap
syaikh dalam artian diatas, akan berpengaruh pada sistem belajar dan mengajar
baik dalam rumah tangga maupun dalam institusi pendidikan formal (sekolah dan
perkuliahan) khususnya di kalangan sufi. Tidak membuka kesempatan untuk
bertanya atau adu argumentasi diantara murid dan guru dan akan melahirkan
generasi-generasi yang kurang dan tidak berwawasan.
6.
Jihad
Adapun tasawuf yang lebih berkonsentrasipadapembersihanhati, menjauhikehidupandunia
agar dapatbermakrifahkepada Allah SWT.
Denganmemperbanyakamalan-amalansunatsepertishalat-shalatsunnatdanzikir-zikir di
tempat-tempat yang jauhdarikeramaian, telahdilihatsebagaipraktek-praktek yang
merendahkanjikabukanmengabaikanajaan-ajaranberjihadbagiperbaikandiridanmasyarakat.
Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam hal ini[18] :
a.
Dalam kitab ihya’ ‘ulum al-Din, karya imam Al-Ghazali yang
terdiri dari 4 jilid dan lebih terkonsentrasi dalam persoalan ibadan dan
pembersihan diri. Tidak di sentuh sama sekali tentang masalah jihad, padahal
pada saat penulisan Syam sedang di serang pasukan salib.
b.
Kaum sufi berpegangan pada hadis “kita telah pulang dari jihad
yang kecil menuju jihad yang lebih besar”
c.
Pada saat itu inggris dan perancis menduduki beberapa dunia islam,
para sufi larut dalam zikir mereka, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Menurut ibn
Taimiyah berkata :”bila dibandingkan dengan dengan aliran manapun orang-orang
sufi adalah orang-orang yang paling menjauhi jihad.”
7.
Pengangguran[19]
Dari ajaran-ajaran dan praktek-praktek tasawuf, dimulai dari
konsentrasi kepada pembersihan hati menjauhi kehidupan dunia, beribadah dengan
berbagai amalan sunat di tempat-tempat terpencil, melemahnya semangat untuk
menggali ilmu pengetahuan dan berjihad, hanya terkonsentrasi pada ma’rifah dan persatuan dengan Tuhan, dilihat dari salah
satu lahirnya penyebab lahirnya generasi-generasi pemalas dan penganggur. Lebih
tertarik kepada pemberian orang dari pada hasil kerja dan usaha sendiri.
Kecendrungan seperti ini dilihat tidak sejalan dengan motivasi
Allah untuk terus bekerja bagi kebaikan didunia dan akhirat, serta bagi
perbaikan diri dan masyarakat dan umat manusia secara umum. Di samping itu,
Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan nahwa : “Sungguh salah seorang diantara
kamu sekalian yang telah menjadi ikat pinggangnya sebagai pengikat kayu yang
ditaruh diatas punggung untuk dijual lebih baik dari orang yang suka
meminta-minta kepada seseorang, laludiberi atau tidak diberinya”. (R.Nasai)
8.
Tidak menikah[20]
Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam
penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang
menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan
“cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Semisal Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi
menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan
ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya'
jawabnya. Berkali-kali orang lain yang bertanya ke-padanya mengapa ia tidak
menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya
dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku
sendiri. Aku adalah milik-Nya."
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan
manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di
atas. Begitu urgrennya dalam memberi kritik terhadap tasawuf.
Memang dibenarkan ada beberapa hal dalam tasawuf yang condong terhadap hal-hal yang
menuju kesesatan. Dan tidak di
pungkiri juga bahwa tasawuf merupakan titik puncak unruk mendekatkan diri kepada Allah
selain dengan cara shalat lima waktu.
Setiap individu memang mempunyai pandangan tersendiri dalam menyikapi sesuatu khususnya dalam hal tasawuf.
Dimana kita kenal dengan aliansis ayap kanan yang
ingin membasmi tasawuf dari dunia ini.
Sebagai kaum intelek seharusnya kita sudah bias mensikapi hal-hal seperti ini,
dan memilih hal yang menueurut kacamata kita memang benar. Karena perbedaan pandangan merupakan kemaslahatan munuju ridha
Allah.
B.
Saran
Diharapkan kepada para
pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan
saran sangat kami butuhkan dan harapkan, untuk memotavasi, penulis, agar
dalam penyelasaian makalah ini bias memperbaiki diri, atas partisipasinya kami
ucapkan terimakasih.
DAFTAR RUJUKAN
Amin,
Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012.
IbnTaimiyah,
Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002
Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan
kontektualitas. Ciputat ; Gaung Persada Press. 2004.
KarelA.Steenbrink,
beberapaAspektentang Islam di Indonesia Abad ke-19, BulanBintang,
Jakarta, 1984, h. 184-185.
Nasution,
Harun. “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta, 1984
Nasution,
Harun. Falsafat dan Mistisme dalam islam. Jakarta ; Bulan bantang. 1973.
Simuh. Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT
Raja Grafindo Persada. 1997.
Solihin dan Anwar, rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka
Setia. Cet. II. 2008.
[3]Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam
Budhy Munawar Rahman, (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta,
1984 h.
187
[4]Nasution, ‘Tasawuf”,
h. 178.
[5]Ibn Taimiyah, Majmu’
Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002, h. 215.
[6]Karel A.Steenbrink, beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984,
h. 184-185.
[8]M. Solihin, Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm 234
[10]Amin, Samsul Munir. Ilmu
Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012. h.
[11]Solihin dan Anwar,
rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. Cet. II. 2008.h.
[12]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. Ciputat ; Gaung Persada
Press. 2004. h. 166
[13]Simuh. Tasawuf dan
perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT Raja Grafindo Persada. 1997. h. 167
[14] Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 170
[15]Nasution,
Harun. FalsafatdanMistismedalamislam. Jakarta ;Bulanbantang. 1973. h. 72
[16]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 173
[17]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 178
[18]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 181-182
[19]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 183
[20]Jamil. M. Cakrawala
Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas
[21]Kitabsucialquran
: departemen agama RI
izin share
BalasHapus